Tulisan ini tidak akan membahas kenaikan pajak dari 11% menjadi 12%. Pro-kontra tentang isu tersebut memang sangat menarik untuk dibahas, tetapi saya akan menuangkannya dalam rangkaian tulisan yang berbeda. Seperti judulnya, tulisan ini akan lebih menyoroti turbulensi jilid 2 yang terjadi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi Jawa Barat.
Provinsi Jawa Barat (Jabar) sudah dua kali mengalami turbulensi dalam hal volume APBD. Turbulensi APBD Jabar jilid 1 terjadi ketika musibah melanda seluruh Negeri pada akhir tahun 2019, saat itu secara otomatis penurunan volume APBD Jabar tahun anggaran 2020 sekitar 10 triliun rupiah. Refocusing dan realokasi anggaran pun tidak terhindarkan, diantaranya berakibat kepada banyak program/kegiatan yang tidak terbiayai.
Pada APBD perubahan tahun 2020, Pemerintah Provinsi Jabar memutuskan untuk berhutang ke PT. Sarana Multi Infrastruktur (SMI) sebesar 1,8 triliun rupiah dan berhutang kembali pada APBD murni tahun 2021 sebesar 2,2 triliun rupiah. Sejak tahun 2009, untuk pertama kali dalam sejarah total berhutang Pemprov Jabar sebesar 4 triliun rupiah, suatu nomenklatur Pinjaman (Utang) Daerah yang muncul dalam stuktur APBD Jabar kala itu.
Hal tersebut diatas lantas harus diikuti juga dengan munculnya nomenklatur baru lainnya pada bagian Pengeluaran Pembiayaan Daerah, yaitu Pembayaran Pinjaman (Utang) Daerah, dan hal ini harus dilakukan setiap tahun. Kini, nilainya sekitar 566 miliar rupiah per tahun yang dituangkan dalam APBD murni,_hutang yang harus dibayar oleh seluruh rakyat Jabar melalui APBD Provinsi Jabar_.
Turbulensi APBD Jabar jilid 2 terjadi sebagai akibat konsekuensi logis dari diberlakukannya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UU HKPD). Undang-Undang tersebut menegaskan bahwa Dana Bagi Hasil (DBH) antara Provinsi dan Kabupaten/Kota yang selama ini berjalan diputuskan: mengalami perubahan yang sangat signifikan.
Hingga tahun 2024, DBH dibagi dengan komposisi pada kisaran 70% menjadi hak Provinsi dan sekitar 30% menjadi hak Kabupaten/Kota. Komposisi menjadi dibalik setelah UU HKPD berlaku secara efektif mulai Januari 2025, yang berarti mulai Januari 2025 komposisi DBH sekitar 70% menjadi hak Kabupaten/Kota dan sekitar 30% menjadi hak Provinsi.
Tentu saja dampaknya sangat signifikan. Bagi Provinsi Jabar, pemberlakuan UU HKPD menimbulkan turbulensi APBD jilid 2, yaitu turunnya volume pendapatan daerah sebesar 6 triliun rupiah. Akibatnya membuat sejumlah besar program dan kegiatan yang ada tidak dapat terpenuhi biayanya. Bahkan, banyak pos sangat terpaksa harus dihilangkan, bansos/hibah serta bantuan keuangan ke Kabupaten/Kota pun ikut ‘terkikis’.
Di sisi lain, pemberlakuan UU HKPD bagi Kabupaten/Kota justru memberi berkah. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten/Kota seketika mengalami peningkatan yang sangat signifikan. Kemampuan keuangan Kabupaten/Kota pun meningkat cukup tajam. Bahkan, beberapa Kabupaten/Kota di Jabar menerima ‘pergeseran DBH’ yang tidak sedikit. Dengan demikian, mereka mampu lebih banyak membiayai program/kegiatan pembangunannya.
Kini, kemajuan pembangunan di tingkat Kabupaten/Kota sangat tergantung pada kebijakan di Kabupaten/Kota itu sendiri. Bantuan keuangan yang biasanya mengalir cukup besar dari Provinsi Jabar ke Kabupaten/Kota dipastikan akan berkurang volumenya _kalau tidak boleh dijadikan nihil_, ini pun butuh penyelarasan di sana-sini.
Kabupaten/Kota diharapkan mampu membiayai pos-pos belanja pembangunan yang selama ini banyak bergantung pada bantuan keuangan Provinsi. Peningkatan volume APBD Kabupaten/Kota diharapkan mampu membiayai program/kegiatan masing-masing secara lebih maksimal, efektif, dan efisien.
Sementara itu, APBD Provinsi Jabar tampaknya harus lebih banyak digunakan untuk pencapaian target-target yang menjadi kewajiban Pemerintah Provinsi. Indikator Kinerja Utama (IKU) dalam masing-masing Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) harus menjadi target yang diupayakan realisasinya oleh masing-masing tingkatan pemerintahan. Tentu saja diharapkan semuanya berjalan simultan untuk mewujudkan visi dan misi Indonesia Maju 2045.
Pemerintah Provinsi Jabar sendiri memiliki sederet target yang sudah dituangkan dalam RPJPD maupun RPJMD dan Rencana Pembangunan Daerah (RPD). Target dan sasaran tersebut pasti akan mengalami penyelarasan seiiring dengan terpilihnya Gubernur Jabar yang baru berdasarkan pemilihan kepala daerah pada 27 November 2024 lalu, dan RPJMD ini terkait dengan revisi Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN). Di luar itu, masih ada hal lain yang juga harus dimasukkan dalam RPJMD, yaitu janji-janji Gubernur Jabar terpilih.
Jika melihat kemampuan keuangan daerah dari sisi Pendapatan Daerah yang ada, rasanya fiscal gap menganga begitu besar, artinya akan banyak program/kegiatan yang tidak terbiayai secara maksimal. Konsekuensi logisnya adalah sulit mencapai target-target Indikator Kinerja Utama (IKU) yang sudah ditetapkan, solusinya adalah: menambah pendapatan daerah.
Ada beberapa pos pendapatan yang masih bisa ditingkatkan, dengan ekstensifikasi atau intensifikasi. Contoh ekstensifikasi adalah dengan meminta kebijakan pusat agar perusahaan yang lokasi pabriknya berada di Jabar untuk memindahkan kantor pusatnya ke Jabar, dengan demikian PPH 21 dan PPH 25 Badan akan menjadi hak Provinsi Jabar. Selama ini PPH tersebut diserahkan ke tempat domisili kantor pusatnya, meskipun kantor pusat tersebut hanya sebuah ruangan kecil. Padahal, selain kantor pusat hanya sekamar, karyawan yang jumlahnya ratusan ‘buang kotoran’ di Jabar. Belum lagi pajak kendaraan dan lain-lain.
Ada sumber pendapatan daerah lain yang seharusnya bisa memberi kontribusi yang signifikan ke pos Pendapatan Asli Daerah (PAD), yaitu Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Sayangnya, mayoritas dari 41 BUMD milik Pemprov Jabar masih menganggap APBD adalah ATM. Dengan demikian, jangankan memberi dividen, memertahankan hidupnya saja sudah megap-megap.
BUMD juga harus dioptimalkan. Bukankah BUMD didirikan untuk menambah PAD melalui dividen? Memang ada fungsi lain dari BUMD, yaitu social services. Pertanyaanya, bagaimana atau apa yang harus dilakukan jika BUMD tersebut tidak mememuhi kedua unsur itu, baik dividen maupun public services?
Tampaknya BUMD milik Provinsi Jabar harus dilakukan due diligence agar diperoleh data yang komprehensif sehingga ada keputusan yang lebih tepat untuk menyikapinya. DPRD sempat mewacanakan dibentuknya Pansus BUMD, dari sana kemudian akan diperoleh alternatif keputusan: dilebur/merger, dibubarkan/ditutup, atau dipertahankan/ditingkatkan.
Naikkan juga potensi ekspor dari Jabar dengan adanya Pelabuhan Utama Patimban di Kabupaten Subang. Ini akan berdampak pada pendapatan dari pajak ekspor. Bukankah status Pelabuhan Patimban adalah pelabuhan utama? Sudah selayaknya Patimban menjadi pelabuhan yang bisa dijadikan tempat naik-turunnya barang ekspor-impor. Dengan demikian, ada geliat ekonomi di sana yang akan berdampak pada meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi Jabar.
Dengan fiscal gap yang menganga begitu besar dan keterbatasan pendapatan daerah, jangan pula mengeluarkan pembiayaan untuk pos yang tak jelas manfaatnya. Terkait potensi tambahan pendapatan dari PPH 21 dan 25 Badan, dibutuhkan political will dan goodwill dari beberapa pihak terkait.
Semoga semua bisa terealisasi sesuai harapan sehingga target IKU dalam RPJPD dan RPJMD nantinya bisa terwujud dengan baik. Jika Pendapatan Daerah meningkat niscaya janji KDM pun akan terwujud: Jabar akan menjadi istimewa, seluruh rakyatnya akan menjadi makmur dan sejahtera.
Penulis: Drs. H. Daddy Rohanady (Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat, Komisi 4 Bid. Pembangunan)
Editor: Ratih Maryam, S.S
Leave a Reply